Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yg dilimpahkan
llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan
yg suci. Ia laksana benih yg akan menumbuhkan pohon besar pelanjut
keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yg menjadi sumber keturunan
paling mulia yg dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah
Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah pada hari Jumaat 20 Jumadil Akhir
kurang lbh lima tahun sebelum bi’tsah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a.
tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi di tengah kancah
pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah di kala sedang
gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah
berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra
r.a. sudah harus mengalami penderitaan merasakan kehausan dan
kelaparan. Ia berkenalan dgn pahit getirnya perjuangan menegakkan
kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya
hidup menderita di dalam Syi’ib akibat pemboikotan orang-orang kafir
Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari
penderitaan jasmaniah selama di Syi’ib datang pula pukulan batin atas
diri Sitti Fatimah Azzahra r.a. berupa wafatnya bunda tercinta Sitti
Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari
dgn putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Puteri Kesayangan
Rasul
Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fatimah Azzahra
r.a. adl puteri bungsu yg paling disayang dan dikasihani junjungan kita
Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di
dunia yg paling berkenan di hati beliau dan yg paling dekat disisinya
selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul
Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dgn hadits yg
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w.
berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:
“Wahai Ali! Sesungguhnya
Fatimah adl bagian dari aku. Dia adl cahaya mataku dan buah hatiku.
Barang siapa menyusahkan dia ia menyusahkan aku dan siapa yg
menyenangkan dia ia menyenangkan aku…”
Pernyataan beliau itu
bukan sekedar cetusan emosi melainkan suatu penegasan bagi umatnya
bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yg
ditinggalkan di tengah ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Sitti
Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan sendiri cobaan yg dialami oleh
ayah-bundanya baik berupa gangguan-gangguan maupun
penganiayaan-penganiayaan yg dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia
hidup di udara Makkah yg penuh dgn debu perlawanan orang-orang kafir
terhadap keluarga Nubuwaah keluarga yg menjadi pusat iman hidayah dan
keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ketegasan orang-orang
mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan
Qureiys. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa
Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam
pembentukan pribadinya serta mempersiapkan kekuatan mental guna
menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya
wafat Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup bersama ayahandanya.
Satu-satunya orang yg paling dicintai. Ialah yg meringankan penderitaan
Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau Sitti Khadijah.
Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang
dgn kepala dan tubuh penuh pasir yg baru saja dilemparkan oleh
orang-orang Qureys di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati
remuk-redam laksana disayat sembilu Sitti Fatimah r.a. segera
membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna
mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang
Qureisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan
benar oleh Nabi Muhammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan
meringankan rasa sedihnya maka Nabi Muhammad s.a.w. sambil
membelai-belai kepala puteri bungsunya itu berkata: “Jangan menangis..
Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama
dan risalah-Nya”(1)
Dengan tutur kata penuh semangat itu Rasul
Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah
r.a. dan sekaligus mengisinya dgn kesabaran ketabahan serta kepercayaan
akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti
kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan
penganiayaan-penganiayaan namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan
tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi Sitti Fatimah r.a.
menyaksikan ayahandanya pulang dgn tubuh penuh dgn kotoran kulit janin
unta yg baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung
Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu’aith Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah
bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlumuran najis Sitti Fatimah r.a.
segera membersihkannya dgn air sambil menangis.
Nabi Muhammad
rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan.
Karena itulah maka pada waktu itu beliau memanjatkan doa kehadirat
Allah s.w.t.: “Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah
binasakanlah ‘Uqbah bin Mu’aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf
dan Umayyah bin Khalaf”(2)
Masih banyak lagi pelajaran yg
diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan
menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya
utk menghadapi masa mendatang yg berat dan penuh cobaan. Kehidupan yg
serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental
gemblengan.
Hijrah ke Madinah
Tepat pada saat orang-orang
kafir Qureiys selesai mempersiapkan komplotan terror utk membunuh Rasul
Allah s.a.w. Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi
Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan
malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman
keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau berhijrah seperti dahulu
pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara
orang-orang yg ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri
kesayangan beliau Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yg diasuh
dgn kasih sayang sejak kecil yaitu Imam Ali r.a. yg selama ini menjadi
pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan
oleh Nabi Muhammad utk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat
tidur beliau guna mengelabui mata komplotan Qureiys yg siap hendak
membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut ia
dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-barang amanat yg ada pada
beliau dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah itu
bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w. segera menyusul
berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta utk kendaraan bagi
wanita yg akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yg
menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim
dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali
r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a. Fatimah binti Asad bin Hasyim
Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin
Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy ikut bergabung dalam
rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan
terburu-buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu
Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yg dikendarai para wanita agar
jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu Imam
Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid supaya berjalan perlahan-lahan
krn semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir
di bawah sengatan terik matahari.
Imam Ali r.a. sebagai pemimpin
rombongan berangkat dengan semangat yg tinggi. Beliau siap menghadapi
segala kemungkinan yg bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys
terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan
mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan
Imam Ali r.a. berangkat orang-orang Qureiys sangat penasaran.
Lebih-lebih krn rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah
secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap
bahwa keberanian Imam Ali r.a. yg semacam itu sebagai tantangan terhadap
mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang
anggota pasukan berkuda utk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan.
Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang
Qureiys itu di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati
rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui
datangnya pasukan berkuda Qureiys ia segera memerintahkan dua orang
lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia
sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan
mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi
gerombolan Qureisy dgn pedang terhunus. Rupanya Imam Ali r.a. hendak
berbicara dgn bahasa yg dimengerti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana
cara menundukkan mereka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka
gerombolan Qureiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: “Hai penipu
apakah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo
kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi.”
Imam Ali r.a. dgn tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: “Kalau aku tidak mau berbuat itu..?”
“Mau tidak mau engkau harus kembali” sahut gerombolan Qureiys dgn cepat.
Mereka
lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali r.a.
menghalangi usaha mereka. Jenah seorang hamba sahaya milik Harb bin
Umayyah mencoba hendak memukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan
tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai hantaman pedang Imam Ali
r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi
dua sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda.
Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah.
Sambil menggeretakkan gigi Imam Ali r.a. berkata: “Lepaskan orang-orang
yg hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan
menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!”
Gerombolan Qureiys
mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. utk menyarungkan kembali
pedangnya. Imam Ali r.a. dgn tegas menjawab: “Aku hendak berangkat
menyusul saudaraku putera pamanku Rasul Allah. Siapa yg ingin
kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya cobalah maju
mendekati aku!”
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys
itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak
konfrontasi bersenjata yg bakal datang antara kaum muslimin melawan
agresi kafir Qureiys.
Di Dhajnan rombongan Imam Ali r.a.
beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman . Ia menyusul
anaknya yg telah berangkat lbh dahulu bersama Imam Ali r.a. Bersama
Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yg berangkat hijrah.
Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. beserta rombongan Ummu Aiman
melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera
bertemu dgn Rasul Allah s.a.w.
Waktu itu Rasul Allah s.a.w.
bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk
beberapa waktu beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan
rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Rasul Allah s.a.w.
memberitahu bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah sebelum
putera pamannya dan puterinya sendiri datang.
Selama dalam
perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendaraan sama sekali. Ia
berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya
pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya tibalah semua anggota rombongan
dgn selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut
kedatangan orang-orang yg disayanginya itu.
Ketika Nabi Muhammad
s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi krn kakinya
membengkak beliau merangkul dan memeluknya seraya menangis krn sangat
terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan lalu diusapkan
pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya Imam Ali
r.a. tidak pernah mengeluh krn sakit kaki.(3)
Peristiwa yg sangat
mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak
terlupakan selama-lamanya. Berhubung dgn peristiwa itu turunlah wahyu
Ilahi yg memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin seperti terdapat
dalam Surah Ali ‘Imran:195.
Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti
Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya
pada saat risalah yg dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dgn
pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a.
benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak
menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yg menggantungkan
harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa
orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha
melamarnya. Menanggapi lamaran itu Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan
bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t.
mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq
r.a. Umar Ibnul Khatab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul
Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu
diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu
beliau bertanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: “Apakah engkau
bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”
Abu
Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak utk menghubungi
Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash
Shiddiq r.a. dgn tergopoh-gopoh dan terperanjat ia menyambutnya
kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”
Setelah
duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan
persoalannya: “Hai Ali engkau adalah orang pertama yg beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lbh dibanding dgn orang
lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah
kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah
menyampaikan lamaran kepada beliau utk dapat mempersunting puteri
beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan
bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi
hai Ali apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut
puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar utk dirimu sendiri?
Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu.”
Mendengar
perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. berlinang-linang.
Menanggapi kata-kata itu Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar anda
telah membuat hatiku goncang yg semulanya tenang. Anda telah
mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang
menghendaki Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku
ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa.”
Abu Bakar r.a.
terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas itu. Untuk membesarkan dan
menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a. berkata: “Hai Ali
janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia
dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah
berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a. berhasil mendorong
keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa
waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yg
ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar
pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.:
“Siapakah yg mengetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah
dan bukakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-Nya
dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Muhammad s.a.w.
Tercantum
dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan
pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi
Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai
kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang
itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia
masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia
dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan
kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul
Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu
keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau
perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah
s.a.w. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk
berkata: “Maafkanlah ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah
mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti
Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya
Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya
Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi
wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan
sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang
isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah.
Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn
dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah
Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada
Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mempunyai suatu bekal
maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus
terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu
tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain
sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”
“Tentang
pedangmu itu” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi
Thalib “engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan
Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi
keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh
karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin
sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai
Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wajalla sebenarnya sudah
lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di
bumi!” Demikian versi riwayat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah
segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan
oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul
pernikahan puterinya: “Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya
menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham .
Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin
sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. utk diatur
penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w. Abu Bakar r.a.
menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan.
Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah
tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar